Senin, 19 November 2012

Ketika pebulutangkis Indonesia dituding curang di Olimpiade

Ketika pebulutangkis Indonesia dituding curang di Olimpiade
Bottom of Form

Ganda putri bulutangkis Indonesia Greysia Polii-Meiliana Jauhari akhirnya harus tersingkir dari Olimpiade London 2012. Tetapi perjalanan mereka harus terhenti bukan karena kalah, tapi lantaran dianggap melanggar kode etik pertandingan. Mereka dianggap sengaja mengalah saat bertanding melawan duet Korea Selatan, Ha Jung-eun dan Kim Min-jung dalam laga Selasa lalu.

Memalukan memang. Setelah Greysia-Meiliana kalah dari Ha Jung-eun dan Kim Min-jung dalam tiga set (21-18, 14-21, 12-21), BWF tetap memutuskan mendiskualifikasi mereka. Tidak hanya itu, duet China Wang Xiaoli-Yu Yang dan ganda Negeri Ginseng Jung Kyun-eun dan Kim Ha-na juga mendapat perlakuan serupa dari juri.

Sebelum memulai laga pagi ini, tim Federasi Badminton Dunia (BWF) menyatakan keempat ganda putri itu dianggap tidak menampilkan usaha terbaik buat memenangkan pertandingan dan melakukan tindakan tidak terpuji dan jelas mencederai semangat olahraga.

Tentu bukan hasil ini diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Mereka semua menanti para atlet berdiri di podium tertinggi dan mengenakan medali emas buat dibawa pulang sembari lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebagai tanda kemenangan. Lalu jika insiden sengaja kalah itu terjadi, maka patut dipertanyakan apakah ini hasil latihan bertahun-tahun buat menjadi juara. Apakah para pelatih masa kini menanamkan di benak semua atlet bermain akal-akalan dan memilih menghindar dari musuh terkuat?

Lebih memalukan lagi hal ini terjadi di ajang pesta olahraga sejagat. Olimpiade dianggap sebagai puncak segala turnamen dan kompetisi. Maka sepatutnya atlet yang hadir bertanding dan berlomba adalah mereka yang diunggulkan dan memiliki mental juara. Bukannya malah kucing-kucingan cari aman.

Pimpinan delegasi Indonesia di Olimpiade Erik Thohir mengritik keputusan diskualifikasi. "Kami datang ke sini tidak untuk kehilangan medali. Kami ingin mendapat medali," kata Erik Thohir. "Saya pikir BWF hars melihat sejarah turnamen ini sebelum mengambil keputusan," katanya dikutip Reuters.

Ketua Umum PB PBSI Djoko Santoso mengatakan akan menerima keputusan BWF dengan berbesar hari dan segera mengevaluasi ke dalam. "Kita akan melakukan langkah-langkah strategis dan akan usul ke BWF untuk mengubah sistem pertandingan yang ada," katanya.

Nasi sudah menjadi bubur. Diskualifikasi di London jadi pelajaran sangat berharga. Penting untuk menanamkan mental juara tidak takut apapun, walau lawan punya keahlian dan pengalaman lebih unggul. Bukankah kalah-menang urusan belakang seperti selama ini diucapkan? Usaha dan proses itu lebih utama. Jika keadaannya sudah seperti ini lalu siapa mau bertanggung jawab.


Sosok Ibunda dibalik kesuksesan Liliyana Natsir


Liliyana Natsir (ANTARA/Andika Wahyu)
....kamu mau jadi apa, kalau mau sekolah tinggal sama mama-papa di Manado, kalau mau jadi atlet, di Jakarta."
London  (ANTARA News) - "Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah hidup diluncurkan."

Mungkin kata-kata bijak itu yang diyakini Auw Jin Chen (55) ketika melepas putri bungsunya Liliyana Natsir merantau sendirian ke Jakarta demi cita-citanya menjadi atlet.

Saat itu, putrinya baru berusia 12 tahun ketika hijrah ke Jakarta untuk mendapatkan pelatihan bulu tangkis yang lebih baik.

Menurutnya membebaskan anak menentukan sendiri jalan hidup sesuai dengan keinginan mereka adalah kewajiban orangtua.

"Sejak awal saya tawarkan, kamu mau jadi apa, kalau mau sekolah tinggal sama mama-papa di Manado, kalau mau jadi atlet, di Jakarta," kata ibunda pebulu tangkis nasional Liliyana Natsir itu.

Karena waktu itu masih sangat muda, 12 tahun, hampir setiap hari peraih medali perak Olimpiade Beijing 2008 itu menangis karena ingin pulang.

"Saya katakan padanya, `ini kan pilihan adek sendiri` untuk menjadi atlet," kata Jin Chen berusaha menghibur putri bungsu yang sebelumnya hampir tidak pernah berpisah dengannya.

"Kemana pun orang tuanya pergi dia ikut, tidur pun dengan saya," katanya.

Saat ini, setelah 15 tahun Liliyana hidup sendiri jauh dari keluarganya, semua pengorbanan itu berbuah manis.

Atlet kelahiran Manado 9 September 1985 tersebut telah meraih prestasi yang diimpikan semua atlet.

Menempati peringkat satu dunia, meraih gelar juara dunia bahkan sampai dua kali (2005 dan 2007), juara All England dan medali di Olimpiade, semua pernah dirasakannya.

Harapan

Lalu apa yang diharapkan perempuan kelahiran 13 Juli 1957 setelah anaknya meraih sukses?

"Sekarang terserah dia, mau berhenti bermain, pensiun dari bulu tangkis juga tidak apa-apa. Saya hanya ingin dia menikmatinya," kata Jin Chen yang diundang ke London untuk menyaksikan putrinya bertanding di Olimpiade keduanya.

"Saya hanya ingin dia `enjoy`. Menikmati pertandingan karena prestasinya sudah cukup membanggakan," katanya.

Namun ia menyebutkan, anak keduanya itu mengatakan, selama masih dibutuhkan, ia masih ingin membela negaranya melalui olahraga.

Soal kehidupan pribadi, Jin Chen dan suaminya Beno Natsir tidak pernah ikut campur. Soal jodoh, ia menyerahkan sepenuhnya kepada Liliyana.

Menurutnya putrinya itu belum berpikir untuk mencari pasangan hidup, apalagi menikah. "Belum kepikiran ke sana," katanya.

"Dia bilang, dia baru akan pacaran kalau sudah pensiun. Takut mengganggu latihan," begitu kata ibu dua putri itu menirukan kata-kata putri bungsunya.

Ketika gagal mempersembahkan medali bagi Merah Putih di London, Liliyana bilang belum memikirkan Olimpiade Rio 2016, target terdekatnya adalah Kejuaraan Dunia tahun depan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar