Q.S
Al-Kaafiruun -- part1
1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
2. Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. 6.
Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku."
Surat ini
adalah surat makkiyah,
surat yang
diturunkan pada periode Makkah, meskipun ada juga pendapat yang menyebutkan
bahwa, surat ini turun pada periode Madinah. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya
menyebutkan bahwa, surat ini adalah surat penolakan (baraa’) terhadap seluruh
amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dan yang memerintahkan
agar kita ikhlas dalam setiap amal ibadah kita kepada Allah, tanpa ada
sedikitpun campuran, baik dalam niat, tujuan maupun bentuk dan tata caranya.
Karena setiap bentuk percampuran disini adalah sebuah kesyirikan, yang tertolak
secara tegas dalam konsep aqidah dan tauhid Islam yang murni.
Meskipun
kita diperbolehkan untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam berbagai
bidang kehidupan umum (lihat QS Luqman [31]: 15, QS Al-Mumtahanah [60]: 8 dan
yang lainnya), namun khusus dalam masalah agama yang meliputi aqidah, ritual
ibadah, hukum, dan semacamnya, sebagaimana dinyatakan dalam surat ini, kita
harus bersikap tegas kepada mereka, dengan arti kita harus bisa memurnikan dan
tidak sedikitpun mencampuradukkan antara agama kita dan agama mereka.
Disebutkan
bahwa sebab turunnya (sababun nuzul) surat ini adalah bahwa, setelah melakukan
berbagai upaya untuk menghalang-halangi dakwah Islam, orang-orang kafir Quraisy
akhirnya mengajak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkompromi dengan
mengajukan tawaran bahwa mereka bersedia menyembah Tuhan-nya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam selama satu tahun jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
juga bersedia ikut menyembah tuhan-tuhan mereka selama satu tahun. Maka Allah
sendiri yang langsung menjawab tawaran mereka itu dengan menurunkan surat ini
(lihat atsar riwayat Ath-Thabrani, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu
Abbas ra).
Keutamaan
Surat Ini
Disebutkan
dalam beberapa riwayat bahwa, nilai surat ini setara dengan seperempat
Al-Qur’an. Diantaranya riwayat dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa,
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam
bersabda, ”Qul huwaLlahu ahad setara dengan sepertiga Al-Qur’an, dan Qul
yaa ayyuhal kaafiruun setara dengan seperempat Al-Qur’an” (HR Ath-Thabrani).
Dalam
banyak riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam biasa
membaca Surat Al-Kafirun dan Surat Al-Ikhlas dalam berbagai macam shalat,
diantaranya dalam dua rakaat shalat sunnah fajar (HR Muslim dari Abu Hurairah
ra), shalat sunnah ba’diyah maghrib (HR Ahmad, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban dari Ibnu Umar ra), shalat sunnah thawaf (HR Muslim dari Jabir bin
Abdillah ra), dan shalat witir (HR Al-Hakim dari Ubay bin Ka’ab ra).
Beberapa
riwayat juga menyebutkan disunnahkannya membaca Surat Al-Kafirun sebelum tidur,
diantaranya hadits riwayat Naufal bin Mu’awiyah Al-Asyja’i, dimana beliau
meminta diajari sebuah bacaan yang sebaiknya dibaca sebelum tidur. Maka
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Bacalah Qul yaa ayyuhal
kaafirun sampai akhir surat, lalu langsung tidurlah sesudah itu, karena
sesungguhnya surat tersebut adalah penolakan terhadap kesyirikan.” (HR Ahmad,
Abu Dawud, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan lain-lain)
Kandungan
Umum
Secara
umum, surat ini memiliki dua kandungan utama. Pertama, ikrar kemurnian tauhid,
khususnya tauhid uluhiyah (tauhid ibadah). Kedua, ikrar penolakan terhadap
semua bentuk dan praktek peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh
orang-orang kafir. Dan karena kedua kandungan makna ini begitu urgen dan
mendasar sekali, sehingga ditegaskan dengan berbagai bentuk penegasan yang
tergambar secara jelas di bawah ini.
Pertama,
Allah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam untuk memanggil
orang-orang kafir dengan khitab (panggilan) ’Yaa ayyuhal kafirun’ (Wahai
orang-orang kafir), padahal Al-Qur’an tidak biasa memanggil mereka dengan cara
yang vulgar semacam ini. Yang lebih umum digunakan dalam Al-Qur’an adalah
khitab semacam 'Yaa ayyuhan naas' (Wahai sekalian manusia) dan sebagainya.
Kedua, pada
ayat ke-2 dan ke-4 Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
untuk menyatakan secara tegas, jelas dan terbuka kepada mereka, dan tentu
sekaligus kepada setiap orang kafir sepanjang sejarah, bahwa beliau (begitu
pula ummatnya) sama sekali tidak akan pernah (baca: tidak dibenarkan sama
sekali) menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir.
Ketiga,
pada ayat ke-3 dan ke-5 Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam untuk menegaskan juga dengan jelas dan terbuka bahwa, orang-orang
kafir pada hakikatnya tidak akan pernah benar-benar menyembah-Nya. Dimana hal
ini bisa pula kita pahami sebagai larangan atas orang-orang kafir untuk
ikut-ikutan melakukan praktek-praktek peribadatan kepada Allah sementara mereka
masih berada dalam kekafirannya. Mereka baru boleh melakukan berbagai praktek
peribadatan tersebut jika mereka sudah masuk ke dalam agama Islam.
Keempat,
Allah lebih menegaskan hal kedua dan ketiga diatas dengan melakukan pengulangan
ayat, dimana kandungan makna ayat ke-2 diulang dalam ayat ke-4 dengan sedikit
perubahan redaksi nash, sedang ayat ke-3 diulang dalam ayat ke-5 dengan redaksi
nash yang sama persis. Adanya pengulangan ini menunjukkan adanya penafian atas
realitas sekaligus larangan yang bersifat total dan menyeluruh, yang mencakup
seluruh waktu (yang lalu, kini, yang akan datang dan selamanya), dan mencakup
seluruh bentuk dan macam peribadatan.
Kelima,
Allah memungkasi dan menyempurnakan semua hal diatas dengan penegasan terakhir
dalam firman-Nya: ’Lakum diinukum wa liya diin’ (Bagi kalian agama kalian dan bagiku
agamaku). Dimana kalimat penutup yang singkat ini memberikan sebuah penegasan
sikap atas tidak bolehnya pencampuran antara agama Islam dan agama lainnya.
Jika Islam ya Islam tanpa boleh dicampur dengan unsur-unsur agama lainnya dan
demikian pula sebaliknya. Ayat ini juga memupus harapan orang-orang kafir yang
menginginkan kita untuk mengikuti dan terlibat dalam peribadatan-peribadatan
mereka.
”Lakum
Diinukum Waliya Diin”
Ayat
pamungkas yang merupakan ringkasan dan kesimpulan seluruh kandungan surat Al-Kaafiruun
ini, secara umum semakna dengan firman Allah yang lain dalam QS. Yunus [10]:
41, dan mungkin juga QS. Al-Qashash [28]: 55, serta yang lainnya. Dimana
semuanya berintikan pernyataan dan ikrar ketegasan sikap setiap orang beriman
terhadap setiap orang kafir, tanpa adanya sedikitpun toleransi, kompromi dan
pencampuran, jika terkait secara khusus tentang masalah dan urusan agama
masing-masing, yakni yang meliputi aspek aqidah, ritual ibadah dan hukum.
Namun
demikian dari sisi yang lain, jika kita renungkan, surat inipun dari awal
sampai akhir, sebenarnya juga mengandung makna sikap toleransi Islam dan kaum
muslimin terhadap agama lain dan pemeluknya. Yakni berupa sikap pengakuan
terhadap eksistensi agama selain Islam dan keberadaan penganut-penganutnya.
Meskipun yang dimaksud tentulah sekadar pengakuan terhadap realita, dan sama
sekali bukan pengakuan pembenaran.
Dan hal itu
didukung oleh pernyataan yang menegaskan bahwa, tidak boleh ada pemaksaan untuk
masuk agama Islam, apalagi agama yang lain, yakni dalam firman Allah: ”Laa
ikraaha fiddiin” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Dan hal itu lebih dikuatkan lagi
dengan dibenarkannya kaum mukminin bergaul, berhubungan, berinteraksi dan
bekerjasama dengan kaum kafirin dalam berbagai bidang kehidupan umum, seperti bidang
sosial kemasyarakatan, ekonomi, bisnis dan perdagangan, politik, pemerintahan
dan kenegaraan, dan lain-lain. Yang jelas semua bidang selain bidang khusus
agama yang mencakup masalah aqidah, ritual ibadah dan hukum.
Nah bahwa
ada dua sikap terkait pola hubungan antara ummat Islam dan ummat lain tersebut,
haruslah dipahami secara benar dan proporsional, baik oleh kaum muslimin maupun
juga oleh kaum non muslimin, agar tidak terjadi kerancuan-kerancuan, atau
pencampuran-pencampuran, atau bahkan pembalikan-pembalikan sikap, sebagaimana
yang sering terjadi selama ini. Yakni bahwa, dalam bidang-bidang kehidupan
umum, dibenarkan seorang mukmin bersikap toleransi dengan berinteraksi dan
bahkan bekerjasama dengan anggota masyarakat non mukmin. Namun khusus di bidang
urusan agama yang terkait masalah aqidah, ritual ibadah dan hukum, sikap
tegaslah yang harus ditunjukkan, seperti yang telah dijelaskan diatas.
Sebagai
penutup, berikut ini poin-poin kesimpulan umum dari kandungan makna surat
Al-Kaafiruun, khususnya kalimat pamungkasnya: ”Lakum diinukum waliya diin”:
(1) Secara
umum Islam memberikan pengakuan terhadap realita keberadaan agama-agama lain
dan penganut-penganutnya. Disamping dari kalimat "Lakum diinukum waliya
diin", makna tersebut juga diambil firman Allah yang lain seperti
"Laa ikraaha fid-diin", yang berarti Islam mengakui adanya kebebasan
beragama bagi setiap orang, dan bukan kebebasan mengganggu, mempermainkan atau
merusak agama yang ada.
(2) Dan
karenanya, Islam membenarkan kaum muslimin untuk berinteraksi dengan
ummat-ummat non muslim itu dalam bidang-bidang kehidupan umum.
(3) Namun
di saat yang sama Islam memberikan ketegasan sikap ideologis berupa baraa’ atau
penolakan total terhadap setiap bentuk kesyirikan aqidah, ritual ibadah ataupun
hukum, yang terdapat di dalam agama-agama lain.
(4) Maka
tidak boleh ada pencampuran antara Islam dan agama-agama lain dalam
bidang-bidang aqidah, ritual ibadah dan hukum.
(5) Begitu
pula antar ummat muslim dan ummat kafir tidak dibenarkan saling mencampuri urusan-urusan
khusus agama lain.
(6) Kaum
muslimin dilarang keras ikut-ikutan penganut agama lain dalam keyakinan aqidah,
ritual ibadah dan ketentuan hukum agama mereka.
(7) Ummat Islam tidak dibenarkan melibatkan diri dan
bekerja sama dengan penganut agama lain dalam bidang-bidang yang khusus terkait
dengan keyakinan aqidah, ritual ibadah dan huk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar